Senin, 10 Maret 2008

Kehidupan Pondok Pesantren Nurul Islam

Lokasi

Kabupaten Jember memiliki luas wilayah 3.293,34 km2 atau 329.333,94 ha. Dari segi topografi sebagian Kabupaten Jember di wilayah bagian selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur yang biasa untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan.

Sementara itu, Pondok Pesantren Nurul Islam terletak di Kelurahan Antirogo,[1] Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember. Kelurahan Antirogo memiliki luas pemukiman 128.218 m2, luas pekamanan 6.620m2, luas pekarangan 612.052 m2,luas perkantoran 0.244 m2 dan luas prasaranan umum 782.300m2 dengan jumlah penduduk 9.074 orang. Kelurahan ini ini memiliki satu bantara sungai dan tidak rawan banjir. Selain itu juga memiliki kualitas mataair, sumur gali, sumur pompa, hidran umum yang baik. Namun sungai pada umumnya berada dalam keadaan tercemar. Sedangkan udara cukup sehat.

Kilas Sejarah

Pesantren ini didirikan pada tahun 1981. Berdirinya pesantren ini bermula setelah KH. MuhyiddinAbdusshamad menikah dan setahun kemudian pindah dari JL. Bromo, Jember ke Antirogo dengan maksud memanfaatkan lahan pertanian yang diwariskan orang tua dengan luas tanah sekitar 5 Hektar. Dengan tanah seluas itu, atas permintaan dari masyarakat, maka perlahan-lahan mulai didirikan pesantren atau sekolah pada tahun 1983. Mula-mula mereka mendirikan SMP. Karena pada waktu itu belum punya gedung sendiri, maka untuk kegiatan proses belajar mengajar, mereka melakukan kerjasama dengan sejumlah pendidikan Sekolah Dasar yang berdekatan dengan tanah mereka. Mereka diberi pinjaman ruang kelas untuk kelangsungan proses belajar mengajar. Kerjasama juga dilakukan dengan teman-teman yang dari Persis yang mendirikan sekolah SMP Al Furqon. Melalui kerjasama yang dibangun dengan sekolah al-Furqon, maka SMP yang dirikan pada waktu itu adalah kelas jauh dari SMP al-Furqon, Jember. Mereka juga melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah lain, misalnya, Muhammadiyah.

Sekolah SMP yang mereka dirikan letaknya di pinggiran kota Jember, dan jalanan menuju ke sekolah waktu itu sangatlah sulit, karena jalanan belum diaspal dan jembatan yang ada tidak mungkin dilalui dengan sarana transportasi, sehingga sarana komunikasi menuju kota sangatlah sulit. Namun, setelah tahun 1986/1987, kesulitan-kesulitan itu berangsur-angsur mulai membaik, karena jalan-jalan menuju kota sudah diaspal, jembatan dibangun, sehingga komunikasi semakin lancar, maka sekolah kami lama-kelamaan dikenal masyarakat luas. Mereka mulai mendapat murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Jember. Sebagian kecil murid-murid SMP ini tinggal di pesantren dan sebagian besar pulang ke rumah.

Pada tahun 1989, mereka mendirikan SMA dan SMK Nuris (Nurul Islam). Nama Nuris sendiri dilhami dari seorang pemain bintang film laga terkenal yang namanya Cut Nuris. Karena pada waktu itu, nama NURIS sangat populer, sehingga masyarakat mudah menghafal. Tentu tidak sekadar itu saja, nama Nuris juga bagian dari strategi agar masyarakat tertarik, karena ada keinginan untuk menjadi modern.[2] Kemudian Nurul Islam itu disingkat dengan NURIS dan masyarakat setuju. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian mendirikan TK dan Play Group. Kami tidak mendirikan SD, karena di lingkungan Antirogo sudah ada sekitar 6 sekolah SD yang berdekatan dengan kami. Mereka juga tidak mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dengan pertimbangan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah itu tidak populer di masyarakat. Pernah ada salah satu murid yang melamar pekerjaan di salah satu tempat, namun karena ijazahnya Aliyah, kemudian ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimaksud. Lulusan Madrasah Aliyah oleh masyarakat masih dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama an sich. Artinya, mereka tidak tahu bahwa di sekolah Aliyah juga diajari biologi, fisika, kimia dan seterusnya. Karenanya, sampai sekarang mereka belum mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah.[3]

Infrastruktur

Data ruang santri mencatat jumlah 26 dengan perincian 11 ruang putra, 15 ruang puteri. Data kamar santri mencatat 18 kamar santri putra dan 30 kiamar santri putri. Pesantren ini memiliki 2 buah kantor, 7 ruang madrasah, 3 musholla, 1 masjid, 11 kamar mandi, 3 gedung sekolah formal dan 5 asrama guru dan 1 lab komputer. Pondok pesantren ini memiliki 1 buah telepon, 20 buah komputer, 1 faks, 3 OHP, 1 LCD proyektor, 1 komputer portable, 2 VCD player, 3 telebisi, 3 printer. Terdapat 17 ruang kelas, , 1 ruang koperasi, 1 ruang yayasan, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang TU/Kurikulum, 1 ruang guru, 1 ruang lab komputer, 1 ruang komp. Jaringan, 1 bengkel TO, 1 ruang OSIS/UKS, 1 ruang perpustakaan, 1 lab bahasa asing. Jumlah santri Ponpes NURIS: 156 laki-laki, 175 perempuan dengan jumlah total 331.

Kurikulum

Kurikulum pendidikan di pesantren berafiliasi dengan Diknas. Misalnya, yang terkait dengan mata pelajaran umum. Sementara kurikulum agama, kami melakukan kerjasama dengan Rahimah di Jakarta. Kurikulum agama itu bersisi tentang materi agama yang berwawasan plural dan multikultural. Di banding dengan kurikulum atau matapelajaran umum, mata pelajaran agama di Pesantren ini prosentasenya hanya 30 persen. Pengetahuan agama di sini kami tekankan pada baca al-qur’an. Karena masih banyak kita jumpai anak-anak SMA/SMK yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan baik.[4]

Proses Pembelajaran di Pesantren

Dalam proses belajar mengajar di Ponpes NURIS, kami selalu menerapkan kesetaraan antara santri dan santriwati. Di dalam kelas pun kami tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi tetap dalam pengawasan guru atau para ustadz. Budaya cium tangan kepada guru dan Kyai, kami lakukan karena ada dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan. Dengan begitu mereka bisa diatur dan kepentingan pendidikan akan bisa ditransformasi lebih baik.[5] Dalam proses belajar mengajar, kami mengembangkan berbagai pola pembelajaran dan metode yang berbeda-beda sesuai dengan materi yang diajarkan kepada siswa. Adapun metode pembelajaran yang dimaksud adalah metode ceramah, metode diskusi, tanya jawab dan metode demonstrasi atau bisa juga kami menggabungkan semua metode tersebut dalam satu mata pelajaran.[6] Dengan metode yang bervariasi tersebut, diharapakan siswa dapat mengembangkan kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotorik.[7]

Kerjasama Pesantren dengan Masyarakat sekitar Pesantren

Kerjasama Pesantren dengan masyarakat sekitar, sangat bagus. Karena pesantren adalah sentra pengembangan masyarakat. Kerjasam yang kami lakukan dengan masyarakat sekitar, misalnya, pengembangan karang gizi, pengajian muslimat, pengajian bapak-bapak, pengajian wali murid. Dan manfaat yang bisa diberikan pesantren pada masyarakat secara riil berupa pendidikan. Kemudian kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya sporadis, berkala, misalnya bantuan dari masyarakat, perusahaan-perusahaan, atau orang-orang yang mendermakan hartanya, kemudian kami bagikan ke masyarakat miskin di wilayah Antirogo ini. Hanya saja, kami dalam membina masyarakat sekitar pesantren ini, kadang kala menemukan hambatan-hambatan. Hambatan itu misalnya, datang dari masyarakat pendatang, utamanya yang dari Madura. Kami merasa sulit sekali membangkitkan etos kerja mereka, karena mereka sangat konsumtif. Artinya, setelah bekerja, mereka menunggu habisnya penghasilan, lalu mulai bekerja lagi. Orang Madura dalam urusan soal rejeki sangat jabariyah, yaitu meyakini bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan, sehingga dalam bekerja mereka cenderung malas. Yang paling tragis, di masyarakat masih ada persepsi bahwa mereka tidak merasa bekerja kalau tidak menanam tembakau. Padahal harga tembakau sangatlah murah dan tidak punya perspektif yang menguntungkan mereka.[8]

Kerjasama dengan Pesantren-pesantren Lainnya

Hubungan antara pesantren dengan pesantren lainnya sangat baik. Baru-baru ini kita mengadakan work shoop bersama tentang pluralisme, kesetaraan gender, teknik pertanian tembakau bekerjasama dengan P3M, Rahimah, dan lain-lain. Dengan pesantren-pesantren tersebut kami saling belajar dan memberikan pengalaman.[9]

Kerjasama dengan Pemerintah

Kerjasama dengan pihak pemerintah sangatlah bagus. Kami saling melakukan komunikasi dan bahkan tidak jarang pihak pemerintah, utamanya Diknas dan Depag, sering melakukan kunjungan ke pesantren ini. Dalam berbagai acara dan kegiatan yang kami gelar, kami selalu mengundang Depag dan Diknas. Kegiatan pondok ramadhan, misalnya, kami meminta dari Depag maupun Diknas agar memberikan materi kepada siswa-siswa kami, tentang apa itu bank, polisi, tentara, POS, dan lain-lain yang terkait dengan pengetahuan umum. Kebetulan tahun lalu sekolah ini adalah sekolah terbaik, sehingga, karenanya, mereka meddapatkan bantuan dari Diknas dan Depag berupa uang senilai Rp. 50 000. 000. Mereka juga bekerjasama dengan Pemerintah di bidang pendidikan agama dan pelatihan-pelatihan.[10]

Kerjasama dengan Penganut Agama-agama lain

Kerjasama dengan agama-agama lain, kerap kami lakukan, misalnya dengan para pendeta, pastor, maupun tokoh tokoh agama lain. Bahkan kami pernah diberi bantuan oleh mereka berupa mainan boneka anak-anak, mie dan beras untuk kami bagikan kepada warga sekitar. Tidak hanya itu, kami juga sering mengadakan seminar bersama tentang pendidikan dan pluralisme. Setiap hari raya, baik idul fitri maupun hari raya Natal, kami juga puya tradisi saling memberi ucapan selamat. Baru-baru ini kami juga mengadakan studi banding ke SMA Kristen, Shanta Paulus di Kabupaten Jember.[11]



[1] Kelurahan Antirogo terdiri dari empat dusun, yaitu, Dusun Pelinggihan, Dusun Krajan, Dusun Trogowetan dan Dusun Jambuhan. Masing-masing dusun di bawah kekuasaan Kaling (Kepala Lingkungan). Di antara 4 dusun tersebut yang paling tinggi tingkat kemiskinannya adalah dusun Jambuhan. Adapun mayoritas penduduk Kelurahan Antirogo bekerja sebagai buruh atau petani. Di antara empat dusun di kelurahan Antirogo, tidak dijumpai tempat yang rawan banjir. Wawancara dengan Bapak Sunyoto, Sekretaris Kelurahan Antirogo, Sumbersari, Jember.

[2] KH. Muhyiddin, bercerita bahwa, banyak anak-anak di sekitar lingkungan kami yang pakai tato, rambut panjang warna merah, hidung dilubangi pakai aksesoris. Nampaknya ada keinginan dari mereka untuk menjadi modern. Nah, melihat itu, saya mencoba masuk untuk menamakan pondok pesantren ini dengan nama NURIS. Harapan kami dengan nama itu sekolah ini lebih menarik.

[3] Wawancara dengan KH. Muhyiddi, Pengasuh Ponpes Nurul Islam, Jember.

[4] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad

[5] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad

[6] Wawancara dengan Bapak Hari Widyo Utomo, Kepala Sekolah SMP NURIS

[7] Wawancara dengan Bapak Sholeh Samroji, Kepala sekolah SMA NURIS.

[8] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.

[9] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.

[10] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.

[11] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.

Kabupaten Jember, Jawa Timur

Kabupaten Jember

Secara geografis Kabupaten Jember memiliki posisi yang sangat strategis beserta berbagai potensi sumber daya alam yang potensial.Tak dapat dipungkiri, Jember menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah yang menarik untuk digali dan dikaji. Tentang nama Jember dan kapan wilayah ini diakui keberadaannya, hingga saat ini memang masih belum diperoleh kepastian fakta sejarahnya. Berbagai upaya baik seminar maupun penelitian yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian, Perguruan Tinggi maupun oleh sejarawan belum bisa mengungkap kejelasan yang pasti. Pemkab Jember masih memberi Kesempatan luas dan menampung sumbangan pemikiran untuk dijadikan bahan kajian dalam menentukan fakta sejarah guna mengetahui kapan hari jadi Kabupaten Jember sebenarnya.

Hari jadi bagi suatu daerah sangatlah penting dan mendasar, karena menandai suatu awal pemerintahan sehingga dapat dijadikan ukuran waktu bagi daerah kapan mulai berpemerintahan. Sementara ini untuk menentukan hari jadi Kabupaten Jember berpedoman pada sejarah pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan pada Staatsblaad Nomor 322 tanggal 9 Agustus 1928 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929 sebagai dasar hukumnya.

Staatsblaad 322 tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, antara lain dengan regenschap djember sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri. Ketentuan tersebut diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintahan Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928.[1]

Kabupaten Jember terletak pada posisi 6027’29” s/d 7014’35” Bujur Timur dan 7059’6” s/d 8033’56” Lintang Selatan berbentuk dataran ngarai yang subur pada bagian Tengah dan Selatan, dikelilingi pegunungan yang memanjang sepanjang batas. Letaknya yang strategis karena berada dipersimpangan antara Surabaya dan Bali, sehingga perkembangannya cukup pesat dan menjadi barometer pertumbuhan ekonomi di kawasan Timur Jawa Timur. Sebagai Daerah Otonom, Kabupaten Jember memiliki batas-batas teritorial, luas wilayah, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik dan sosial budaya serta sumber daya manusia. Kondisi obyektif yang demikian dapat mengungkapkan berbagai karakteristik sumberdaya alam, komoditas yang dihasilkan, matapencaharian penduduk, perekonomian dan sosial-budayanya yang mencerminkan kekuatan sebagai suatu kompetensi daerah, sekaligus beragam permasalahan yang dihadapinya.

Demografi

Kabupaten Jember pada dasarnya tidak mempunyai penduduk asli. Hampir semuanya pendatang, mengingat daerah ini tergolong daerah
yang mengalami perkembangan sangat pesat khususnya di bidang perdagangan, sehingga memberikan peluang bagi pendatang untuk berlomba-lomba mencari penghidupan di daerah ini. Mayoritas penduduk yang mendiami Kabupaten Jember adalah suku Jawa dan Madura, disamping masih dijumpai suku-suku lain serta warga keturunan asing sehingga melahirkan karakter khas Jember dinamis, kreatif, sopan dan ramah tamah. Berdasarkan data statistik hasil registrasi tahun 2003, penduduk Kabupaten Jember mencapai 2.131.289 jiwa, dengan kepadatan penduduk 647,15 jiwa/km, dengan sebagian besar penduduk berada pada kelompok usia muda. Sehingga kondisi demografi yang demikian menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia yang dimiliki Kabupaten Jember cukup memadai sebagai potensi penyedia dan penawar tenaga kerja di pasar kerja.

Jember adalah salah satu Kabupaten yang terdapat di Propinsi Jawa Timur yang memiliki ratusan pesantren, baik pondok shalaf maupun Kholaf/ Asyriyyah. Banyaknya jumlah pesantren di kabupaten Jember merupakan satu kelebihan tersendiri, mengingat keberadaan pesantren masih bisa eksis di tengah gempuran dan gelombang modernisasi. Salah satu ciri khas Pon Pes adalah mengajarkan kitab-kitab kuning (klasik) yang diajarkan oleh seorang Kyai dengan metode yang sangat khas, yakni metode bandongan, sorogan, khalaqoh dan wetonan.

Namun, seiring dengan perjalanan historisitasnya, pondok pesantren tidak cukup hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran agama an sich. Diperlukan perubahan agar dalam pengajaran dan pendidikannya memasukkan pelajaran umum dan keterampilan hidup. Untuk tujuan ini, maka pondok pesantren—terutama pondok pesantren salafiyah—sudah harus mulai membuka diri dan apresiatif terhadap dunia luar agar mampu bersaing dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Berangkat dari latar belakang inilah, penting kiranya dilakukan program pembelajaran jarak jauh lewat internet, atau penyelenggaraan program paket B dan C, di mana program ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan kesempatan belajar pada jalur nonformal dan memperoleh keterampilan serta ijazah. Research ini dilakukan di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dengan mengambil responden Pondok Pesantren Nurul Islam, lingkungan masyarakat sekitar pesantren, Departemen Agama dan Diknas Kabupaten.

Sementara Kelurahan Antirogo jumlah penduduk 9.074 jiwa dengan tenaga kerja usia 15-60 tahun 4.430 orang, ibu rumah tanngga 2.615 orang dan masih sekolah 2.971 orang. Mata pencaharian pokok[2] di kelurahan ini adalah buruh/swasta 1. 032 orang, PNS 93 orang, pengrajin 58 orang, pedagang 61 orang, penjahit 11 orang, tukang batu, 82 orang, tukang kayu 32 orang, montir 05 orang, sopir 17 orang, pengemudi becak 279 orang, TNI/Polri 6 orang, pengusaha 2 orang dan pensiunan 37 orang.

Agama yang dianut adalah Islam dengan jumlah penganut 9. 071 orang dan Kristen 3 orang, sementara Katholik, Hindu dan Budha tidak terdata. Etnis terdiri dari Jawa 174 orang dan Madura 8.900 orang. Mengenai organisasi kemasyarakat, organisasi PKK terdiri dari 55 anggota, organisasi penuda 10 anggota, Karang Taruna 100 anggota, organisasi profesi 27 anggota, majelis taklim 995 anggota dan LKMD 20 anggota. Mengenai prasarana komunikasi[3], keluarahan ini tidak memiliki fasilitas telepon umum, wartel ataupun warnet, sementara pelanggan telepon berjumlah 250 orang. Sementara jumlah televisi 1.556 unit dan parabola 5 unit. Mengenai prasarana peribadatan, jumlah masjid terdiri dari 12 buah dan musholla 115 buah. Tidak terdapat gereja, wihara ataupun pura. Mengenai prasarana kesehatan tidak terdapat rumah sakit umum ataupun Pusksmas, hanya terdapat Puskesmas pembantu satu buah dan posyandu 13 buah. Tokok obat hanya ada satu. Kelurahan ini tidak memiliki perguruan tinggia, hanya SLTA/sederajat sejumlah satu buah, SLT/sederajat 2 buah, SD/sederajat 4 buah, TK 1 buah dan lembaga pendidikan agama satu buah.

Adapaun mengenai kesejahteraan, jumlah angkatan kerja usia 15-55 tahun 4.735 orang, jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang masih sekolah 2.260 orang, jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang menjadi ibu rumah tangga 2.651 orang, jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang masih bekerja penuh 656 orang, jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang bekerja tidak penuh 2.615 orang. Kelurahan Antirogo juga dikenal dengan sektor industri anyaman bambu dengan nilai total produksi 10.000.000 dan nilai imput (bahan baku dan penolong) 800.000. Pada sektor idustri makanan ringan terdapat nilai total produksi 5.000.000 dan nilai input (bahan baku dan penolong) 400.000.

Mengenai angka kemiskinan dari total 2.668 keluarga, terdapat pra-sejahtera 1.223 keluarga, keluarga sejahtera I 765 keluarga dan keluarga sejahtera II 680 keluarga.[4] Angka penguasaan aset ekonomi oleh masyarakat menunjukkan bahwa 561 tidak memiliki rumah dan 2.780 memiliki. Sejumlah 259 orang memilki usaha ekonomi sementara 2.781 tidak memiliki. Sejumlah 103 memiliki mobil dan 2.545 tidak. Sejumlah 489 memiliki mobil dan 2.059 tidak memiliki.

Mengenai angka pendidikan, belum sekolah 875 orang, usia 7-45 tahun tidak sekolah 787 orang, SD tidak tamat 931 orang, tamat SD 1.551 orang, tamat SLTP 446 orang, tamat SLTA 223 orang, tamat D-116 orang, tamat D-2, tamat D-3 5 orang, tamat S-111 orang, buta huruf 2.876 orang. Secarfa prosentasi terdapat 31,75% penduduk buta huruf dan 14.09% penduduk tamat SMP. Mengenai angka drop out, jumlah penduduk usia 7-25 tahun sejumlah 1.124 orang, usia 7-25 tahun yang masih sekolah 2.971 orang dan usia 7-15 tahun yang sudah bekerja 239 orang.[5]

Jumlah lembaga pendidikan untuk taman kanak-kanak/sederajat satu buah dengan jumlah guru tida dan jumlah murid 65. Untuk SD/sederajat berjumlah 4 dengan jumlah guru 30 dan jumlah murid 1.551. Untuk SMP/sederajat berjumlah 2 dengan mumlah guru 20 dan jumlah murif 340. Untuk SMA/sederajat berjumlah 2 dengan jumlah guru 25 dan jumlah murid 560. Lembaga pendidikan agama berjumlah satu dengan jumlah guru 8 dan jumlah siswa 500. [6]

Di kabupaten Jember, Jawa Timur, memiliki jumlah pesantren yang cukup banyak, kurang lebih 600 sampai 670 pesantren, yang terdiri dari pesantren salafiyah (tradisional) maupun asyriyah, kholafiyah (modern). Dari jumlah pondok pesantren tersebut, pesantren salafiyah menduduki peringkat terbanyak dibandingkan, misalnya dengan pondok pesantren kholafiyah (modern). Dari sekian banyak pondok pesantren salafiyah, hanya ada sembilan pesantren yang sudah mengikuti penyelenggaraan program paket C, di antaranya adalah Pesantren Al Falah Putri (Wuluhan); Pesantren Al Imam (Kalisat), Pesantren Nahdhatul Arifin (Panti), Pesantren Al Mubarokh (Puger) Pesantren Nurul Falah, (Kali Wates), Darussalam (Sukowono), Pesantren Roudhotut Tholabah (Jenggawa) Pesantren Mambaul Ulum (Mumbul Sari), Pesantren Zainul Mu’in (Kalisat).[7] Kerjasama juga bisa dilakukan antara pesantren dengan Dinas Pendidikan.[8]

Menurut Suparno,[9] penyelenggaraan program pendidikan Kejar Paket B dan C selalu mengacu pada acuan yang berlaku dari pusat, baik kurikulum maupun sistem menejemennya. Semua program yang dari pusat berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan kejar paket B dan C dilaksanakan dengan sebaik mungkin, mengingat tidak semua warga belajar tertampung di pendidikan formal. Warga belajar yang tidak tertampung di pendidikan formal tersebut kebanyakan berasal dari warga belajar orang dewasa yang belum mendapatkan ijazah SMP maupun SMA. Di samping orang dewasa, warga belajar juga berasal dari mereka anak-anak usia muda yang karena sesuatu hal, misalnya, cacat fisik atau faktor ekonomi.

Pendidikan yang Dibutuhkan

Pendidikan yang dibutuhkan tergantung dari masing-msing minat dari Pondok Pesantren. Misalnya, bagaimana santri mampu mengakses kitab-kitab klasik, seperti kitab al-Muwatha, karya Imam Maliki, atau al-Risalah, karya Imam al-Syafii atau Kitab Kutub al-Sittah, Hadis-hadis shahih, karya Al-Bukhari dan al-Muslim, lewat internet. Di samping pendidikan agama, kiranya perlu juga diajarkan pendidikan yang terkait dengan masalah keterampilan, misalnya, keterampilan menejemen yang bisa menunjang kebutuhan-kebuthan masyarakat dan bisa menarik ke pasar kerja.[10] Kurikulum Paket B dan C seharusnya dilengkapi dengan muatan keterampilan, sehingga diharapkan pada lulusannya siap bekerja baik untuk memasuki dunia usaha maupun kerja mandiri.[11] Keterampilan yang dimaksud, misalnya adalah keterampilan di bidang menjahit, di bidang batik, pertanian, perikanan, teknologi (otomotif) dan lain-lain.[12] Pesantren juga diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri terkait dengan pendidikan keterampilan, misalnya dengan membuat tempe dari bahan kedelai atau keterampilan yang dapat memberikan manfaat bagi pengembangan sumber daya masyarakat yang dapat menghasilkan nilai produksi.[13]



[1] Lihat Data Profil Kota Jember di Diknas Kabupaten Jember.

[2] Mata pencaharian penduduk kelurahan Antirogo, kebanyakan jadi petani dan buruh, atau tukang becak. Rata-rata pendidikan warga masyarakatnya adalah SD. Sementara pemuda-pemuda desa ada yang bekerja di sawah sebagai petani dan ada sebagaian yang merantau. Anak-anak desa yang tidak mampu melanjutkan sekolah, disediakan tempat penampungan di pesantren atau melanjutkan ke SMP Terbuka, sebuah lembaga pendidikan gratis khusus anak-anak yang tidak mampu. Namun, walaupun sudah disediakan lembaga pendidikan yang gratis, banyak warga masyarakat di Kelurahan Antirogo, yang tidak menginginkan anaknya melanjutkan sekolah dan lebih menginginkan anaknya membantu orang tuanya di sawah atau menjadi buruh tani. Demikian, wawancara dengan Pak Rico, Ketua RW, Dusun Jambuhan, Kelurahan Antirogo, Sumbersari, Jember.

[3] Menurut Kaling (Kepala Lingkungan) Dusun Jambuhan, di Kelurahan Antirogo, belum ada jaringan telpon, wartel dan warnet. Walaupun tidak ada jaringan telpon, wartel maupun warnet, banyak warga dusun Jambuhan yang sudah memiliki HP (Hand Phone) yang jumlahnya diperkirakan mencapai 30-an orang (he he he, lucu ya, kok tahu). Alasan belum masuknya jaringan telpon ke Kelurahan Antirogo, menurut Kaling Jambuhan, karena sudah tidak ada lagi jaringan yang masuk ke desa-desa. Padahal secara geografis, kelurahan Antirogo tidak jauh letaknya dari Kota Jember….(sambil mengekspresikan keheranannya, mengapa tidak ada perhatian sama sekali dari Pemkab atau Pemkot, Jember). Dia menceritakan, PLN pun baru masuk ke Kelurahan Antirogo pada tahun 2003 dari zaman merdeka sampai sekarang. Wawancara dengan Bapak Mahfud, Kaling Jambuhan, sekaligus Ta’mir Masjid ‘Baitul Amin’ Dusun Jambuhan, Kelurahan Antirogo, Kec.

Sumbersari, Kabupaten Jember.

[4] Prosentase penduduk miskin di kelurahan Antirogo, menurut data di pemerintahan desa berkisar antara 40 sampai 60 %. Adapun jumlah keluarga miskin yang menerima Raskin adalah 250 KK tahun 2006. Wawancara dengan Bapak Sunyoto, Sekretaris Kelurahan Antirogo, Sumbersari, Jember.

[5] Mayoritas penduduk Kelurahan Antirogo berpendidikan SD atau tamat Sekolah Dasar. Setelah lulus kebanyakan di antara mereka melanjutkan ke Pesantren, terutama perempuannya. Padahal kalau mereka mau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP, pemerintah setempat bekerjasama dengan kelurahan Antirogo mendirikan lembaga pendidikan SMP yang dinamakan SMP Terbuka. Lembaga pendidikan ini dimaksudkan khusus menampung anak-anak usia sekolah yang tidak mempunyai biaya pendidikan. Mereka bisa belajar di SMP ini dengan gratis tanpa dipungut biaya, bahkan buku-buku dan seragam sekolah pun sudah disediakan oleh Pemerintah. Tetapi, anehnya, kebanyakan dari mereka banyak yang tidak mau melanjutkan di SMP ini dan lebih memilih belajar di pesantren. Lembaga pendidikan ini baru dibangun dua tahun yang lalu dengan jumlah murid 50 orang. Dalam kegiatan belajar mengajar, SMP terbuka ini bekerjasama dengan SMP Negeri 09 Antirogo. Bentuk kerjasamanya ialah tenaga pengajarnya disubsidi dari SMP Negeri 09. Untuk mengantisipasi buta huruf di kalangan warga masyarakat, pemerintahan desa belum pernah menyelenggarakan program belajar paket B dan C. Jika ada lembaga atau institusi yang menyelenggarakan program Pendidikan Paket B dan C, mereka sangat antusias, karena dengan adanya program belajar Paket B dan C, akan banyak manfaatnya dan memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengikuti kesetaraan pendidikan dan juga mendapat pengakuan dari Pemerintah karena mendapatkan Ijazah. Wawancara dengan Bapak Sunyoto, Sekretaris Kelurahan Antirogo, Sumbersari, Jember.

[6] Di Kelurahan Antirogo, tepatnya di Dusun Jambuhan ada pesantren yang khusus menampung anak-anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan formal. Pesantren ini diasuh oleh Ustadz Umam. Menurutnya, di pesantren santri-santri diajarkan kitab-kitab klasik, seperti Sulam al-Safinah, al-Tawhid, Aqidah al-Awwam, Ihya’ Ulum al-Din. Dengan belajar kitab-kitab ini, santri-santriwati diharapkan mampu mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun pola pengajarannya meniru para ulama salaf zaman dahulu, misalnya menghafal imrity, kailani, Nahwu al-Wadhih. Model pengajaran menggunakan sistem wetonan, sorogan, bandongan. Lulusan pondok tidak mendapatkan ijazah sebagaimana halnya dengan pendidikan formal pada umumnya. Karena pesantren ini didirikan untuk menampung anak-anak yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan formal. Umumnya, anak-anak yang masuk di pesantren ini adalah lulusan madrasah atau anak-anak yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Ustadz yang mengajar pun tidak mendapatkan gaji atau honor, karena mereka berangkat dengan niat ikhlas untuk mengabdi pada agama dengan niat lillahi ta’ala. Sementara untuk hidup sehari-hari, para ustadz tersebut sudah ditanggung oleh pengasuh pesantren, yang sering mendapat beras dan makanan dari orang tua santri-santriwati. Wawancara dengan Ustadz Umam, tokoh masyarakat sekaligus pengasuh pesantren di Dusun Jambuhan, Kelurahan Antirogo, Sumbersari, Jember.

[7] Wawancara dengan Bapak Fatchur Rozi, Kepala PK Pontren, Departemen Agama, Kabupaten Jember. Dalam wawancara dengan Pak Fatchur Rozi, dia mengatakan bahwa, program penyelenggaraan paket B dan C selama ini banyak diikuti oleh pesantren salaf dan bukan pesantren kholaf, karena pesantren kholaf kebanyakan sudah mempunyai lembaga pendidikan formal mulai dari jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Aliyah. Sehingga dengan demikian, mereka tidak perlu lagi mengikuti program paket B dan C. Sedangkan pesantren shalaf, mereka tidak memiliki jenjang pendidikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Aliyah. Mereka hanya mengajarkjan kitab-kitab kuning saja, sehingga untuk mendapatkan ijazah formal, mereka diwajibkan untuk mengikuti program paket B dan C yang diselenggarakan oleh Depag bekerjasama dengan Pondok-pondok Pesantren yang mengajukan permohonan. Menurutnya, Depag Jember, selama ini menyelenggarakan program Paket B dan C baru berjalan dua tahun dan rencananya tahun ini diadakan ujian kelulusan. Demi kelancaran penyelenggaraan Program Paket B dan C, Depag juga memberikan bantuan berupa buku-buku dan modul dari Depag untuk diberikan ke sejumlah pesantren-pesantren yang mengikuti penyelenggaraan program paket B dan C (al-wusthoh dan al-ulyah).

[8] Wawancara dengan Pak Mujib, bagian penyelenggaraan Pendidikan Program Paket B dan C, Depag, Jember. Dari jumlah 9 pesantren tersebut yang aktif berjumlah 6 pesantren. Sementara dua yang lainnya bisa dibilang tidak berjalan dengan baik. Artinya, tidak aktif lagi. Penyelenggaraan Program Paket B dan C ini, dilaksanakan di sejumlah tempat, misalnya, surau, musholla, atau masjid, dan berlangsung 3 kali pertemuan dalam sepekan dengan jumlah peserta antara 35 sampai 50 siswa tiap pesantren. Dalam penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional, biasanya dilakukan kerjasama antara Depag dengan Diknas. Kalau peralihan dari Diknas ke Depag belum dilakukan.

[9] Wawancara dengan Bapak Suparno, bagian pendidikan program Paket B dan C, Diknas, Kabupaten Jember.

[10] Wawancara dengan Pak Mujib, bagian penyelenggaraan Pendidikan Program Paket B dan C, Depag, Jember.

[11] Wawancara dengan Bapak Fatchur Rozi, Kepala PK Pontren, Departemen Agama, Kabupaten Jember.

[12] Wawancara dengan Pak Mujib, bagian penyelenggaraan Pendidikan Program Paket B dan C, Depag, Jember.

[13] Wawancara dengan Bapak Suparno, Kasi PLS Diknas, Kabupaten Jember.

Pengunjung ke

Kontak

Alamat: