Kabupaten Jember memiliki luas wilayah 3.293,34 km2 atau 329.333,94 ha. Dari segi topografi sebagian Kabupaten Jember di wilayah bagian selatan merupakan dataran rendah yang relatif subur yang biasa untuk pengembangan tanaman pangan, sedangkan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik bagi pengembangan tanaman keras dan tanaman perkebunan.
Sementara itu, Pondok Pesantren Nurul Islam terletak di Kelurahan Antirogo,[1] Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember. Kelurahan Antirogo memiliki luas pemukiman 128.218 m2, luas pekamanan 6.620m2, luas pekarangan 612.052 m2,luas perkantoran 0.244 m2 dan luas prasaranan umum 782.300m2 dengan jumlah penduduk 9.074 orang. Kelurahan ini ini memiliki satu bantara sungai dan tidak rawan banjir. Selain itu juga memiliki kualitas mataair, sumur gali, sumur pompa, hidran umum yang baik. Namun sungai pada umumnya berada dalam keadaan tercemar. Sedangkan udara cukup sehat.
Kilas Sejarah
Pesantren ini didirikan pada tahun 1981. Berdirinya pesantren ini bermula setelah KH. MuhyiddinAbdusshamad menikah dan setahun kemudian pindah dari JL. Bromo, Jember ke Antirogo dengan maksud memanfaatkan lahan pertanian yang diwariskan orang tua dengan luas tanah sekitar 5 Hektar. Dengan tanah seluas itu, atas permintaan dari masyarakat, maka perlahan-lahan mulai didirikan pesantren atau sekolah pada tahun 1983. Mula-mula mereka mendirikan SMP. Karena pada waktu itu belum punya gedung sendiri, maka untuk kegiatan proses belajar mengajar, mereka melakukan kerjasama dengan sejumlah pendidikan Sekolah Dasar yang berdekatan dengan tanah mereka. Mereka diberi pinjaman ruang kelas untuk kelangsungan proses belajar mengajar. Kerjasama juga dilakukan dengan teman-teman yang dari Persis yang mendirikan sekolah SMP Al Furqon. Melalui kerjasama yang dibangun dengan sekolah al-Furqon, maka SMP yang dirikan pada waktu itu adalah kelas jauh dari SMP al-Furqon, Jember. Mereka juga melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah lain, misalnya, Muhammadiyah.
Sekolah SMP yang mereka dirikan letaknya di pinggiran kota Jember, dan jalanan menuju ke sekolah waktu itu sangatlah sulit, karena jalanan belum diaspal dan jembatan yang ada tidak mungkin dilalui dengan sarana transportasi, sehingga sarana komunikasi menuju kota sangatlah sulit. Namun, setelah tahun 1986/1987, kesulitan-kesulitan itu berangsur-angsur mulai membaik, karena jalan-jalan menuju kota sudah diaspal, jembatan dibangun, sehingga komunikasi semakin lancar, maka sekolah kami lama-kelamaan dikenal masyarakat luas. Mereka mulai mendapat murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Jember. Sebagian kecil murid-murid SMP ini tinggal di pesantren dan sebagian besar pulang ke rumah.
Pada tahun 1989, mereka mendirikan SMA dan SMK Nuris (Nurul Islam). Nama Nuris sendiri dilhami dari seorang pemain bintang film laga terkenal yang namanya Cut Nuris. Karena pada waktu itu, nama NURIS sangat populer, sehingga masyarakat mudah menghafal. Tentu tidak sekadar itu saja, nama Nuris juga bagian dari strategi agar masyarakat tertarik, karena ada keinginan untuk menjadi modern.[2] Kemudian Nurul Islam itu disingkat dengan NURIS dan masyarakat setuju. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian mendirikan TK dan Play Group. Kami tidak mendirikan SD, karena di lingkungan Antirogo sudah ada sekitar 6 sekolah SD yang berdekatan dengan kami. Mereka juga tidak mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dengan pertimbangan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah itu tidak populer di masyarakat. Pernah ada salah satu murid yang melamar pekerjaan di salah satu tempat, namun karena ijazahnya Aliyah, kemudian ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimaksud. Lulusan Madrasah Aliyah oleh masyarakat masih dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama an sich. Artinya, mereka tidak tahu bahwa di sekolah Aliyah juga diajari biologi, fisika, kimia dan seterusnya. Karenanya, sampai sekarang mereka belum mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah.[3]
Infrastruktur
Data ruang santri mencatat jumlah 26 dengan perincian 11 ruang putra, 15 ruang puteri. Data kamar santri mencatat 18 kamar santri putra dan 30 kiamar santri putri. Pesantren ini memiliki 2 buah kantor, 7 ruang madrasah, 3 musholla, 1 masjid, 11 kamar mandi, 3 gedung sekolah formal dan 5 asrama guru dan 1 lab komputer. Pondok pesantren ini memiliki 1 buah telepon, 20 buah komputer, 1 faks, 3 OHP, 1 LCD proyektor, 1 komputer portable, 2 VCD player, 3 telebisi, 3 printer. Terdapat 17 ruang kelas, , 1 ruang koperasi, 1 ruang yayasan, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang TU/Kurikulum, 1 ruang guru, 1 ruang lab komputer, 1 ruang komp. Jaringan, 1 bengkel TO, 1 ruang OSIS/UKS, 1 ruang perpustakaan, 1 lab bahasa asing. Jumlah santri Ponpes NURIS: 156 laki-laki, 175 perempuan dengan jumlah total 331.
Kurikulum
Kurikulum pendidikan di pesantren berafiliasi dengan Diknas. Misalnya, yang terkait dengan mata pelajaran umum. Sementara kurikulum agama, kami melakukan kerjasama dengan Rahimah di Jakarta. Kurikulum agama itu bersisi tentang materi agama yang berwawasan plural dan multikultural. Di banding dengan kurikulum atau matapelajaran umum, mata pelajaran agama di Pesantren ini prosentasenya hanya 30 persen. Pengetahuan agama di sini kami tekankan pada baca al-qur’an. Karena masih banyak kita jumpai anak-anak SMA/SMK yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan baik.[4]
Proses Pembelajaran di Pesantren
Dalam proses belajar mengajar di Ponpes NURIS, kami selalu menerapkan kesetaraan antara santri dan santriwati. Di dalam kelas pun kami tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi tetap dalam pengawasan guru atau para ustadz. Budaya cium tangan kepada guru dan Kyai, kami lakukan karena ada dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan. Dengan begitu mereka bisa diatur dan kepentingan pendidikan akan bisa ditransformasi lebih baik.[5] Dalam proses belajar mengajar, kami mengembangkan berbagai pola pembelajaran dan metode yang berbeda-beda sesuai dengan materi yang diajarkan kepada siswa. Adapun metode pembelajaran yang dimaksud adalah metode ceramah, metode diskusi, tanya jawab dan metode demonstrasi atau bisa juga kami menggabungkan semua metode tersebut dalam satu mata pelajaran.[6] Dengan metode yang bervariasi tersebut, diharapakan siswa dapat mengembangkan kemampuan kognitif, afektif maupun psikomotorik.[7]
Kerjasama Pesantren dengan Masyarakat sekitar Pesantren
Kerjasama Pesantren dengan masyarakat sekitar, sangat bagus. Karena pesantren adalah sentra pengembangan masyarakat. Kerjasam yang kami lakukan dengan masyarakat sekitar, misalnya, pengembangan karang gizi, pengajian muslimat, pengajian bapak-bapak, pengajian wali murid. Dan manfaat yang bisa diberikan pesantren pada masyarakat secara riil berupa pendidikan. Kemudian kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya sporadis, berkala, misalnya bantuan dari masyarakat, perusahaan-perusahaan, atau orang-orang yang mendermakan hartanya, kemudian kami bagikan ke masyarakat miskin di wilayah Antirogo ini. Hanya saja, kami dalam membina masyarakat sekitar pesantren ini, kadang kala menemukan hambatan-hambatan. Hambatan itu misalnya, datang dari masyarakat pendatang, utamanya yang dari Madura. Kami merasa sulit sekali membangkitkan etos kerja mereka, karena mereka sangat konsumtif. Artinya, setelah bekerja, mereka menunggu habisnya penghasilan, lalu mulai bekerja lagi. Orang Madura dalam urusan soal rejeki sangat jabariyah, yaitu meyakini bahwa rejeki sudah diatur oleh Tuhan, sehingga dalam bekerja mereka cenderung malas. Yang paling tragis, di masyarakat masih ada persepsi bahwa mereka tidak merasa bekerja kalau tidak menanam tembakau. Padahal harga tembakau sangatlah murah dan tidak punya perspektif yang menguntungkan mereka.[8]
Kerjasama dengan Pesantren-pesantren Lainnya
Hubungan antara pesantren dengan pesantren lainnya sangat baik. Baru-baru ini kita mengadakan work shoop bersama tentang pluralisme, kesetaraan gender, teknik pertanian tembakau bekerjasama dengan P3M, Rahimah, dan lain-lain. Dengan pesantren-pesantren tersebut kami saling belajar dan memberikan pengalaman.[9]
Kerjasama dengan Pemerintah
Kerjasama dengan pihak pemerintah sangatlah bagus. Kami saling melakukan komunikasi dan bahkan tidak jarang pihak pemerintah, utamanya Diknas dan Depag, sering melakukan kunjungan ke pesantren ini. Dalam berbagai acara dan kegiatan yang kami gelar, kami selalu mengundang Depag dan Diknas. Kegiatan pondok ramadhan, misalnya, kami meminta dari Depag maupun Diknas agar memberikan materi kepada siswa-siswa kami, tentang apa itu bank, polisi, tentara, POS, dan lain-lain yang terkait dengan pengetahuan umum. Kebetulan tahun lalu sekolah ini adalah sekolah terbaik, sehingga, karenanya, mereka meddapatkan bantuan dari Diknas dan Depag berupa uang senilai Rp. 50 000. 000. Mereka juga bekerjasama dengan Pemerintah di bidang pendidikan agama dan pelatihan-pelatihan.[10]
Kerjasama dengan Penganut Agama-agama lain
Kerjasama dengan agama-agama lain, kerap kami lakukan, misalnya dengan para pendeta, pastor, maupun tokoh tokoh agama lain. Bahkan kami pernah diberi bantuan oleh mereka berupa mainan boneka anak-anak, mie dan beras untuk kami bagikan kepada warga sekitar. Tidak hanya itu, kami juga sering mengadakan seminar bersama tentang pendidikan dan pluralisme. Setiap hari raya, baik idul fitri maupun hari raya Natal, kami juga puya tradisi saling memberi ucapan selamat. Baru-baru ini kami juga mengadakan studi banding ke SMA Kristen, Shanta Paulus di Kabupaten Jember.[11]
[1] Kelurahan Antirogo terdiri dari empat dusun, yaitu, Dusun Pelinggihan, Dusun Krajan, Dusun Trogowetan dan Dusun Jambuhan. Masing-masing dusun di bawah kekuasaan Kaling (Kepala Lingkungan). Di antara 4 dusun tersebut yang paling tinggi tingkat kemiskinannya adalah dusun Jambuhan. Adapun mayoritas penduduk Kelurahan Antirogo bekerja sebagai buruh atau petani. Di antara empat dusun di kelurahan Antirogo, tidak dijumpai tempat yang rawan banjir. Wawancara dengan Bapak Sunyoto, Sekretaris Kelurahan Antirogo, Sumbersari, Jember.
[2] KH. Muhyiddin, bercerita bahwa, banyak anak-anak di sekitar lingkungan kami yang pakai tato, rambut panjang warna merah, hidung dilubangi pakai aksesoris. Nampaknya ada keinginan dari mereka untuk menjadi modern. Nah, melihat itu, saya mencoba masuk untuk menamakan pondok pesantren ini dengan nama NURIS. Harapan kami dengan nama itu sekolah ini lebih menarik.
[3] Wawancara dengan KH. Muhyiddi, Pengasuh Ponpes Nurul Islam, Jember.
[4] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad
[5] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad
[6] Wawancara dengan Bapak Hari Widyo Utomo, Kepala Sekolah SMP NURIS
[7] Wawancara dengan Bapak Sholeh Samroji, Kepala sekolah SMA NURIS.
[8] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.
[9] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.
[10] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.
[11] Wawancara dengan KH. Muhyiddin Abdus Somad.